Oleh: Reza Pemerhati budaya tinggal di Ponorogo, aktif dikomunitas Jamaah Angon Roso (JONGOS) |
Joko
Tingkir ngombe dawet
Jo
dipikir marai mumet
Golek
jamur gone mbah wage
Pantang
mundur tetap nyambut gawe
Lagu ini mendadak viral terutama
karena dua hal, pertama karena pilihan nada dan iramanya, kedua karena
kontroversi yang mengiringinya. Dalam beberapa tahun belakangan lagu-lagu
bergenre dangdut koplo dengan llirik berbahasa Jawa memang lagi digandrungi
penikmat musik di Indonesia. Sebut saja misalnya aku cah kerjo, banyu moto,
kartonyono medot janji, dan yang lagi mau kita bahas dalam tulisan ini, Joko
Tingkir Ngombe Dawet.
Sebagaimana yang sudah-sudah, pilihan
nada dan irama yang rancak khas dangdut koplo menjadikan lagu ini sangat digandrungi
oleh masyarakat. Ketukan nadanya yang lumayan cepat dan penuh semangat, sangat
cocok sebagai suguhan live di panggung.
Lirik lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet
mengambil konsep parikan Jawa, yakni rangkaian kalimat yang hanya terdiri dari
dua kata. Kalimat pertama berfungsi untuk menarik perhatian, dan kalimat kedua
adalah isi atau inti pesan yang mau disampaikan. Konsep parikan persis seperti pantun, sehingga
juga mensyaratkan kecocokan rima guru suara yang sama. Lihat saja
misalnya penggalan lirik berikut ini;
Ning
Kediri tuku ketan
Iki
crito anak rantauan
Lombok
rawit, pedes tenan
Golek
duit kanggo masa depan
Rokok
klobot ning ngisor wit mlinjo
Paling
abot ninggal anak-bojo
Tuku
donat ning Kalimantan
Tetep
semangat kanggo masa depan
Tidak perlu menjadi seorang ahli
atau kritikus musik untuk bisa mengatakan bahwa lagu ini memang memiliki bobot
untuk menjadi terkenal. Nada dan iramanya ngehits, rancak serta penuh
semangat. Lirik dan pilihan katanya sederhana, sehingga pesan yang mau disampaikan
oleh lagu ini niscaya akan mudah tersampaikan kepada masyarakat pendengarnya.
Bahkan pendengar yang baru satu atau dua kali mendengarkan lagu ini niscaya
bisa langsung hafal liriknya.Sayangnya ada sedikit kontroversi yang mengiringi lagu
apik ini, yakni terkait penggunaan nama “Joko Tingkir” dalam lirik lagu ini.
Nama
seorang tokoh dijadikan sebagai
judul atau bahkan isi lagu itu sendiri, sebenarnya adalah hal yang biasa
dan tidak perlu dipersoalkan. Cuma, biasanya kandungan lagu yang membawa-bawa nama tokoh itu
adalah dalam rangka
untuk menggambarkan dan menceritakan berbagai hal tentang kebaikan, kebesaran
serta kejayaan dari tokoh yang bersangkutan. Misal saja lagu “Bung Hatta” yang
dipopulerkan oleh Iwan Fals, lagu “Gie” yang bercerita tentang sosok Soe Hok
Gie sebagai seorang aktivis Mahasiswa era Orde Lama, atau juga lagu “Marsinah” yang mengangkat
cerita pahlawan buruh di Indonesia dan dinyanyikan oleh grup Marjinal.
Sayangnya,
nama Joko Tingkir yang disebut
dalam lagu ini tak lebih hanya sebagai
kata pembuka dari kalimat
penarik perhatian dalam parikan yang menjadi lirik lagu ini. Sayangnya
lagi, meskipun secara keseluruhan maksud pesan yang disampaikan oleh lagu ini cukup bagus, tetapi
sebenarnya tidak ada keterkaitan apapun dengan cerita atau kisah Joko Tingkir
sebagai seorang tokoh sejarah.
Nama Joko Tingkir disebut dalam
lagu ini sepertinya hanya
karena sekedar cocok dengan bunyi kata dalam kalimat selanjutnya, layaknya konsep parikan pada umumnya.
Sebagai contoh perhatikan liriknya, “Joko Tingkir ngombe
dawet, jo dipikir marai mumet”. Jadi pengarang hanya butuh nama sesorang yang
memiliki awalan kata “Jo” dan akhiran kata “kir” atau “ir” agar cocok guru suaranya dengan isi kalimat selanjutnya yang menjadi
inti kalimat dalam parikan yakni, “Jo
dipikir”. Perhatikan
guru suaranya yang memang
cocok antara Joko Tingkir dalam kalimat pertama dan Jo Dipikir dalam kalimat
kedua. Kemudian lirik
selanjutnya, kata “ngombe dawet” yang juga cocok bunyi
vokalnya dengan kalimat
berikutnya, yakni
sama-sama berakhiran bunyi
“met” dalam lirik “marai mumet”.
Jadi,
nama Joko Tingkir menjadi
judul dan isi dalam lirik lagu ini bukan karena beliau adalah tokoh atau tema utama yang kisahnya hendak diceritakan oleh lagu ini. Tetapi sebuah nama yang hanya
disebut dalam rangka cocoklogi bunyi-bunyian syairnya saja.
Mungkin
saja si pencipta
lagunya terinsipirasi oleh
parikan Joko Sembung yang sempat populer beberapa tahun silam, dan hendak
mempersamakan keduanya. Lihat saja misalnya “Joko Sembung Numpak Kebo, Gak Nyambung
Brow!”. Padahal kedua tokoh
ini, Joko Tingkir dan Joko Sembung adalah dua tokoh yang sama sekali berbeda. Joko
Tingkir adalah seorang tokoh
nyata pendiri sekaligus
Raja atau Sultan Pertama dari Kesultanan Pajang yang berdiri pada akhir abad ke-16
Masehi. Sementara Joko Sembung
yang juga populer itu adalah benar-benar tokoh fiktif, yang muncul sebagai
tokoh utama dalam novel fiksi karya Djair Warni berjudul Bajing Ireng.
Joko Tingkir dalam kalangan orang Jawa bukanlah nama sembarangan. Nama
aslinya saat dilahirkan adalah Mas Karebet, lahir menjelang subuh pada tahun
1549 M di Pengging. Pada saat Mas Karebet berusia sekitar 10 tahun, ayahnya
yakni Ki Ageng Pengging dihukum mati karena tuduhan melakukan pemberontakan
terhadap Kerajaan Demak. Kemudian Nyai Ageng Pengging, ibu kandung Mas Karebet menyusul jatuh
sakit dan meninggal pula.
Setelah kedua orang tua kandungnya meninggal dunia, Mas Karebet
diambil sebagai anak angkat oleh Nyai Ageng Tingkir, beliau adalah janda dari
Ki Ageng Tingkir, dalang wayang kulit yang ditanggap
saat perayaan
hari lahirnya Mas Karebet. Setelah menjadi anak angkat dari Nyai Ageng Tingkir
dan pindah tempat tinggal ke daerah Tingkir inilah maka kemudian Mas Karebet
lebih dikenal dengan nama Joko Tingkir.
Joko Tingkir semasa remaja gemar bertirakat dan berguru kepada
tokoh-tokoh besar di Jawa. Diantara guru-gurunya, Sunan Kalijaga yang
merupakan
salah satu diantara Wali Songo yang sangat dihormati oleh masyarakat Islam Jawa
adalah guru pertamanya. Kemudian beliau juga
berguru pada Ki Ageng Sela hingga kemudian dipersaudarakan dengan ketiga
cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng
Pemanahan, Ki Juru Martani, dan Ki Panjawi. Sosok Ki Ageng Pemanahan sendiri selanjutnya dikenal
sebagai Ayah dari Danang Sutowijoyo atau
Panembahan Senopati, pendiri serta raja pertama dari Kesultanan Mataram Islam
yang menjadi leluhur serta cikal bakal dari Keraton Jogjakarta dan Surakarta yang masih ada
sampai sekarang.
Mas Karebet atau Joko
Tingkir adalah menantu Sultan Trenggana dari
Kesultanan Demak Bintoro, yang bisa dikatakan sebagai Kerajaan Islam
pertama di Jawa. Setelah Kesultanan Demak berakhir, maka berdirilah Kesultanan
Pajang dengan pendiri serta Raja pertamanya adalah Joko Tingkir sendiri yang
bergelar Sultan Hadiwijaya.
Pernikahan Joko
Tingkir dengan Putri Sultan Trenggono yang bernama Raden Ayu Cempaka inilah yang kelak akan
melahirkan banyak sekali wali, ulama dan kyai besar ditanah
Jawa, yang menjadi soko guru sekaligus cikal bakal ulama-ulama besar berikutnya
di Nusantara. Salah
satu putra dari pasangan ini adalah Sumohadiningrat atau lebih dikenal sebagai
Pangeran Benowo, menurunkan Raden Sumohadinegoro atau lebih dikenal juga dengan
nama Mbah Sambu, Lasem. Kemudian Mbah Sambu menurunkan Raden Sumohadiwijoyo
yang lebih dikenal dengan nama Kyai Mutamakkin atau Pangeran Cibolek.
Masyarakat hingga sekarang mengenal Mbah Mutamakkin sebagai
waliyullah di Pantura, khususnya daerah Kajen, Pati dan sekitarnya. Dari jalur Mbah
Mutamakkin inilah melahirkan tokoh KH. Raden
Asnawi Sepuh yang menikah dengan salah satu keturunan Sunan Kudus, yaitu RA.
Salamah.
Dari Mbah Kyai
Raden Asnawi Sepuh inilah yang keturunannya menjadi ulaama dan
kyai besar di Jawa. Sebut saja misalnya, KH.
Ahmad Sholeh tokoh pendiri pondok Damaran 78 Kudus, juga KH. Sahal Mahfudz, KH.
Sa'id Aqiel Siradj yang mantan Ketua Umum PBNU. Termasuk juga Gus Baha' Rembang yang sangat
terkenal
itu berada dalam daftar ini.
Bahkan menurut catatan
resmi yang dikelluarkan oleh Lembaga Nasab Resmi Peneliti & Pentashih Nasab
3110 Qabilah Ahlulbayt 1555 Al-Hasani & 1555 Al-Husaini Sedunia, didukung
juga oleh Surat Keputusan (SK) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(KEMENKUMHAM) Republik Indonesia Nomor AHU.0013814.AH.01.04 Tahun 2020,
menerangkan bahwa Mas Karebet atau Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya adalah
keturunan Kanjeng Nabi Muhammad SAW dari jalur ayahnya, yakni Ki Ageng Pengging.
Masih menurut dokumen ini, Joko Tingkir adalah leluhur dari Sang Pendiri Nahdhlatul
Ulama (NU) yang legendaris yakni Hadratus Syekh K.H. Hasyim Asy’ari sekaligus
juga kakek dari Gus Dur.
Beberapa nama tokoh dan ulama besar, serta dokumen diatas
disebut dalam tulisan ini adalah untuk memperjelas dan
mempertegas posisi serta kedudukan Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, dalam
mata rantai silsilah dan nasab ulama serta waliyullah ditanah Nusantara.
Pada saat tulisan ini
dibuat, sudah beredar video permintaan maaf dari pencipta lagu Joko Tingkir
Ngombe Dawet, yang meminta maaf dan bersedia merevisi lirik lagunya. Dalam
pengakuan pencipta lagu, kesalahan dilakukan semata-mata karena ketidaktahuan
beliau akan perihal nama Joko Tingkir yang sebenarnya.
Sebagai seorang
manusia biasa, tentu siapapun tidak luput dari kesalahan. Karena itu melalui
tulisan ini marilah kita akhiri segala polemik ataupun kontroversi terkait lagu
tersebut. Tanpa bermaksud menyalahkan dan atau membatasi seseorang dalam
berkreasi ataupun mengekspresikan jiwa seninya, justru tulisan ini dibuat
sebagai pengingat dimasa mendatang, agar siapapun itu bisa lebih bijak lagi
dalam menggunakan nama tokoh sesuai dengan teks dan konteksnya.
Terakhir, ini hanya guyonan saja dan tidak perlu ditanggapi terlalu serius. Meskipun jika misalnya pesan ini bisa tersampaikan langsung kepada saudara pencipta lagu tersebut juga lebih bagus lagi. Akan sangat lebih baik kalau misalnya pengarang lagu ini menciptakan juga sebuah lagu yang menceritakan Joko Tingkir, sebagaimana Bang Iwan Fals menciptakan lagu Bung Hatta, atau yang semacamnya. ***
Post A Comment:
0 comments: