Ruang pelayanan TKI, Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Ponorogo (foto: istimewa) |
PONOROGO – Dalam acara sosialisasi Perda Nomor 7 Tahun 2021
Kabupaten Ponorogo tentang Perlindungan PMI, Senin 15 Agustus 2022, Kepala
Dinas Tenaga Kerja Ponorogo, Suprianto banyak menjelaskan kondisi riil
keberadaan Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Ponorogo, baik secara teknis
maupun non teknis.
Membuka pembicaraan di awal, Suprianto menjelaskan skema
impian atau cita-cita PMI ketika bekerja di luar negeri. Gambaran umumnya PMI;
2 bulan bekerja kirim uang kepada keluarga di rumah, 6 bulan – 1 tahun bekerja
membeli kendaraan baru (mobil/sepeda motor) untuk keluarga di rumah, 2 tahun
bekerja membangun rumah, 3 tahun bekerja membeli perabot dan perlengkapan
rumah. “Itu gambaran ideal,” katanya.
Tapi Suprianto menyayangkan, banyak PMI yang tidak sesuai
harapan, maksud saya harusnya uang yang dikirim ke rumah bisa dikelola dengan
produktif. Begitu pinta Suprianto di hadapan nara sumber Pimpinan DPRD
Kabupaten Ponorogo dan peserta sosialisasi.
Sementara itu, data Existing PMI Kabupaten Ponorogo yang
berhasil didata oleh Dinas Tenaga Kerja Ponorogo sampai 30 Juni 2022 ini
sebanyak 39.593 orang. Dari jumlah itu tersebar di 47 negara. Sepuluh besar tercatat
sebagai berikut: Taiwan 15.203 orang, Hongkong 14.508 orang, Malaysia 3.700
orang, Korea Selatan 2.870 orang, Singapura 1.505 orang, Saudi Arabia 710
orang, Brunei 520 orang, United Emirate Arab 212 orang, Jepang 51 orang, Qatar
44 orang. Sisanya tersebar di negara lain.
Dari data di atas, bayangkan remiten atau uang dari luar
negeri (PMI) yang masuk ke Indonesia sangat besar. Dirilis Bank Indonesia angka
keseluruhan remiten yang masuk ke Indonesia sebesar 2 triliun lebih. “Angka ini
fantastis, melebihi APBD Kabupaten Ponorogo,” ujar Suprianto.
Para nara sumber sosialisasi Perda Kabupaten Ponorogo No. 7 Th 2021 tentang Perlindungan PMI |
Bicara proses penempatan di negara tujuan, Suprianto mengutarakan,
ada skema penempatan. Yaitu ada 3: G to G (Goverment to Goverment), PMI
Perseorangan, P to P (Private to Private). G to G adalah penempatan oleh Badan
Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Kalau PMI perseorangan adalah PMI yang
akan bekerja ke luar negeri tanpa melalui pelaksana penempatan, contoh bekerja
di Kapal Pesiar Amerika. Sedangkan P to P adalah penempatan oleh Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) atau dulu disebut PJTKI.
Suprianto memang tidak menampik masih banyak terjadi
persoalan-persoalan yang terjadi pada PMI Ponorogo, seperti yang diutarakan oleh
para Pimpinan DPRD Ponorogo. Dan ini yang menurutnya, perlu dicermati bersama
oleh semua pihak, termasuk para Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) atau PMI.
Banyak hal menurut Kadisnaker yang perlu diperhatikan. “PMI
harus legal, jangan ilegal. Harus mengikuti aturan main. Sehingga, jika terjadi
apa-apa bisa dibantu pemerintah, dan tidak merepotkan pemerintah,” katanya.
Selanjutnya yang harus diperhatikan adalah manajemen /pengelolaan
keuangan. Sebab banyak kelemahan PMI kita, diantaranya: gaya hidup, manajemen
keuangan rendah, dan rendahnya kemampuan teknologi informasi.
Indikatornya: (1) Perbedaan perubahan penghasilan di
Indonesia dengan luar negeri, cenderung merubah gaya hidup menjadi tinggi. (2) Mengabaikan
investasi. (3) gadget hanya digunakan gaya hidup, tidak dimanfaatkan untuk meningkatkan
kehidupan yang lain (ekonomi).
Makanya, pentingnya kita menghadirkan para Pimpinan DPRD Kabupaten
Ponorogo, hemat Suprianto, biar bapak-bapak yang terhormat ini bisa memikirkan
kelemahan-kelemahan PMI kita dan memikirkan pemberdayaan PMI Ponorogo.
“Sebab PMI purna perlu peran pemerintah biar menjadi berdaya. Semoga DPRD bisa ikut berperan untuk menganggarkan guna pemberdayaan PMI kita,” pungkas Suprianto.
Reporter: Sugeng Prasetyo
Post A Comment:
0 comments: