UNFPA: Perkawinan Anak di Masa Covid 19 Tembus 13 Juta

Share it:
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Bintang Puspayoga

Perkawinan usia anak di bawah 19 tahun masih sangat tinggi terjadi di Indonesia. Di masa pandemi, UNFPA meprediksi malah meningkat dan tembus angka 13 juta.


Ponorogo, Pecut.id- Kesadaran hukum masyarakat untuk menerapkan UU perkawinan yang baru Nomor: 16/2019 masih rendah. Ini ditandai dengan masih banyaknya perkawinan usia anak atau di bawah usai 19 tahun.  Untuk itu diperlukan implementasi di lapangan terkait UU tersebut, khususnya sanksi hukum bagi mereka yang melanggar. Yang lebih miris, di masa pendemi ini angka perkawinan anak diprediksi mencapai 13 juta, pada masa 2020-2030.

Demikian disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga, saat diskusi publik Pendidikan Kesadaran Hukum untuk Penanganan Kasus Perkawinan Anak beberapa waktu lalu. Menteri PPPA dalam diskusi webinar yang diikuti oleh 300 peserta dari LSM, pegiat perempuan juga pemerintah menyampaikan perkiraan dari UNFPA (United Nations Population Fund) sebanyak 13 juta anak akan melakukan perkawinan pada masa pendemi covid 19.

“Yang menjadi kewaspadaan kita masih banyak PR kita. Melihat  kondisi terkait dengan perkawinan anak, perlu kewaspadaan dan perhatian kita semua pada saat bencana nasional non alam covid 19. Karena prediksi dari UNFPA akan terjadi perkawinan sebanyak 13 juta dalam kurun waktu 2020-2030,” ujar Menteri PPA

Perkawinan anak dianggap melanggar hukum karena mengancam pemenuhan hak dasar anak. Sehingga lahirnya UU 16/2019 tidak saja untuk mencegah perkawinan anak tapi juga untuk menurunkan pelanggaran terhadap hak dasar anak. Terjadinya perkwainan anak di Indonesia, menurut Bintang adalah 3 faktor.

“Yaitu solusi untuk lepas dari kemiskinan, konstruksi sosial yang berkembang di masyarakat (budaya/ tradisi) dan situasi kondisi darurat atau situasi bencana dan pasca bencana,” imbuhnya.

Dalam diskusi webinar yang diselenggatakan oleh Kementriaan PPPA dan Institut KAPAL Perempuan ini, juga menghadirkan nara sumber Mardi Chandra dari Mahkamah Agung RI. Dalam kesempatan webinar yang berlangsung lebih dari 3 jam itu, Mardi Chandra mengatakan,  perkawinan anak yang tidak melalui dispensasi nikah ( diska) di Pengadilan Agama dapat dipidana. Maka dari itu perkawinan anak di bawah tangah di Indonesia diakui Mardi jumlahnya makin kecil.

“Sejak 3 tahun terkahir diska di PA 2017 13 ribu, tahun 2018 ada 13 ribu sekian dan tahun 2019 sebelum UU 16/2019 lahir sebanyak 24. 864. Jadi sudah ada kesadaran masyarakat untuk melegalkan perkawinan ada  95 % perkawinan. Tanpa ijin pengadilan, maka menikahkan anak tanpa ijin pengadilan bisa dibawa  ke ranah pidana dengan ancaman pasal  60 UU Perlindungan Anak, berat sekali hukumannya,” kata Mardi Chandra.

Mardi juga menambahkan, kewenangan hakim dalam menyidangkan Diska  diberi kewenangan sebesar besarnya, termasuk meminta anak didampingi, atau memberi reward mau pun punishment. Saat ini terdapat 6.936 hakim di MA dan ada hakim khusus untuk anak.

Saat ini komunitas perempuan, LSM dan pemerintah terus berupaya agar implementasi UU nomor 16/2019 sebagai pengganti UU perkawinan yang lama, terus digerakkan. Di mana dalam UU ini syarat perkawinan dengan usia minimal adalah 19 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sedangkan pada UU yang lama syarat minimal untuk perempuan menikah adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Karena usia di bawah 19 masih merupakan usia anak-anak yang notabene masih belum siap secara fisik dan psikis khusunya kesehatan reproduksi belum siap.




==***==


Reporter:

Noor Aine Herman

Share it:

Hukum

Post A Comment:

0 comments: