Tahan Diri, Jangan Mudah Emosi, Jangan Bercerai Demi Masa Depan Panjang Sebuah Generasi

Share it:

Dengarkanlah Ayah
Dengarkanlah Ibu
Kunyanyikan lagu untukmu
Kuingat dahulu
Tatapan senyummu
Sampai kini terbayang slalu
Oh Ayahku
Oh Ibuku
Ingin menebus suaramu
Sebagai ganti dirimu....


Mungkin lirik lagu Koes plus tersebut sangat cocok  menggambarkan rintihan anak-anak yang senantiasa merindukan ayah ibunya. Kerinduan untuk kembali berkumpul bersama. Namun itu hanya mimpi semata karena ayah dan ibu mereka telah berpisah. Tinggal sang anak dengan mata nanar menatap masa depan tanpa keduanya. Wahai ayah, wahai ibu tidakkah kau sakit melihat hal itu?. Hanya karena keegoisan kalian masa depan mereka dipertaruhkan!

Itulah sepenggal kisah akibat perceraian. lagi-lagi anak menjadi korban. Keluarga yang seharusnya menjadi benteng pertahanan ditengah arus globalisasi telah dirubuhkan.

Darurat benteng pertahanan ini tentu kita tak akan biarkan saja.  Sebagai bukti, kerusakan moral generasi adalah salah satu ekspresi akibat kehancuran keluarga. Berbagai upaya pemerintah telah lakukan untuk mengatasi permasalahan keluarga. Dari program generasi berencana, edukasi pra nikah dan lain sebagainya. Namun tetap saja belum membawa dampak signifikan.

Nyaris setengah juga pasangan suami istri (pasutri) di Indonesia cerai sepanjang 2019. Dari data Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, hakim telah memutus perceraian sebanyak 16.947 pasangan. Adapun di Pengadilan Agama sebanyak 347.234 perceraian berawal dari gugatan istri.

Sedangkan 121.042 perceraian di Pengadilan Agama dilakukan atas permohonan talak suami. Sehingga total di seluruh Indonesia sebanyak 485.223 pasangan.


Ngeri, bukan?
Perceraian tidak sesederhana yang dibayangkan pihak-pihak besangkutan, Namun, perceraian akan berdampak sedemiakian rumit dan panjang terutama yang berhubungan dengan nasib anak pasca perceraian, apakah ikut ibu atau ayah, serta bagaimana perkembangan psikis anak pasca perceraian. Sebab, banyak kasus menunjukkan banyak terjadi masalah kejiwaan pada anak pasca perceraian, seperti misalnya traumatik.. Selain itu, juga masalah eksekusi putusan soal nafkah anak dan nafkah mantan istri yang harus diberikan oleh ayah/mantan suami. (detikNews, 28/02/20)

Belum lama ini masyarakat juga dibuat heran dengan tindakan salah seorang warga Ponorogo yang merubuhkan rumahnya senilai puluhan juta dengan buldoser. Hal tersebut dilakukan setelah bercerai dengan istrinya. Banyak masyarakat yang menyayangkan tindakan tersebut. Namun masyarakat hanya bisa melihat tindakan konyol dihadapan mereka. Lagi-lagi masyarakat melihat potret mengenaskan akibat perceraian.

Tren perceraian di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Pada 2018, angka perceraian Indonesia mencapai 408.202 kasus, meningkat 9% dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebab terbesar perceraian pada 2018 adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan 183.085 kasus. Faktor ekonomi menempati urutan kedua sebanyak 110.909 kasus.  Sementara masalah lainnya adalah suami/istri pergi (17,55%), KDRT (2,15%), dan mabuk (0,85%). (Badan Pusat statistik, 2019)


Melihat hal ini pemerintah sedang menggodok UU ketahanan keluarga. Salah satu krisis keluarga yang tertuang dalam RUU Ketahanan Keluarga adalah perceraian sebagaimana dalam Pasal 74 ayat 3c. Pemerintah daerah wajib melaksanakan penanganan krisis keluarga karena perceraian dalam Pasal 78 RUU Ketahanan. 

Solusi permasalahan kompleks ini tentu tidak bisa diselesaikan secara parsial. Semua elemen masyarakat harus menyadari dan bergerak bersama untuk menjaga ketahanan keluarga. Berikut beberapa hal yang dapat masyarakat lakukan untuk menjaga ketahanan keluarga.

1. Edukasi pra nikah

Edukasi ini tidak serta merta hanya teknis tentang pernikahan. Edukasi ini haruslah meliputi tindakan preventif dan kuratif berlandaskan agama. Misalnya dalam Islam, terdapat pengaturan pergaulan laki-laki dan perempuan sehingga pemuda-pemudi mampu menjaga pergaulan sebelum menikah. Kemudian pengaturan bagaimana menjaga aurat laki-laki/perempuan. Hal ini sangat penting untuk menjaga diri. Selanjutnya edukasi peran laki-laki dan perempuan yang meliputi hak dan kewajibannya. Hal lain bisa dipelajari selanjutnya pengaturan dalam agama Islam. Pada intinya edukasi secara menyeluruh perlu untuk dilakukan.

2.  Mengubah mindset materialisme

Tidak bisa dipungkiri kehidupan sekarang semua berlandaskan materi. Padahal materi bersifat sementara dan tidak pernah ada habisnya. Sehingga masyarakat harus paham betul dengan menyadari kehidupan ini bukanlah tujuan akhir. Karena ada alam keabadian yang menjadi tujuan utama yakni akhirat. Walau hal ini sepele tapi sungguh punya dampak luar biasa terhadap cara pandang masyarakat yang akan mempengaruhi ketahanan keluarga.

3.  Pro aktif dalam mencegah kejahatan

Masyarakat harus pro aktif untuk mencegah kejahatan. Karena saat ini individualisme mulai menguat ditengah masyarakat. Sehingga tindakan kejahatan semakin meningkat. Keamanan dalam masyarakat juga berpengaruh terhadap ketahanan keluarga.

4. Peran sistemik
Masyarakat bersama pemerintah melakukan perbaikan dalam bidang ekonomi, politik, hukum, kesehatan, dll. Hal ini akan terwujud dengan sistem yang paripurna salah satunya yakni dengan penerapan dalam pengaturan Islam. Misal Ekonomi dalam sistem Islam, Kesehatan dalam Islam dan lain-lain.

Bersegera bergerak hanya satu-satunya solusi untuk menjaga ketahanan keluarga. Sayangilah keluarga anda, anda telah selamatkan bangsa ini dari kehancuran.

==***==


Penulis:

Pita Nirmalasari
(Ketua Kemuslimahan UKMI Al Manar Unmuh Ponorogo)

Share it:

Opini

Post A Comment:

0 comments: