Walida Asitasari begitu tersentak dengan dengan alasan-alasan yang keluar dari mulut perempuan yang duduk di hadapannya kala itu. Padahal berbagai pembinaan telah ia lakukan agar perempuan itu mengurungkan niatnya. Namun pendapatnya tak dapat disanggah sedikitpun. Sebuah keputusan perceraian baru saja Walida saksikan. Badai egoisme tak dapat menyelamatkan bahtera yang baru saja berlayar.
Kenang Walida lebih dalam, akhirnya dengan berat hati ia pun harus merelakan keputusan itu. Keputusan yang telah ia dengar dari orang-orang terdekatnya sejak 2016 lalu. Hingga mendorongnya kembali ke kampung halaman, yang konon menempati peringkat ketiga angka perceraian tertinggi dari seluruh Indonesia. “Menurut informasi, angka perceraian di Ponorogo waktu itu menempati peringkat tiga di Indonesia. Hal tersebut diasosiasikan dengan fenomena TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Kemudian ini yang membuat saya bertanya-tanya ada apa,” Kisahnya ketika di temui di Kawasan Nologaten, Ponorogo.
Bahkan, sebulan pasca ia kembali ke kota kelahirannya, sudah 10 kasus terceraian ia temui dari orang-orang terdekatnya. Alasannya pun beragam. Mulai dari persoalan ekonomi, sampai pertengkaran hebat yang terus berkepanjangan dan tak kunjung usai. “Pertengkaran tidak kunjung usai bisa disebabkan karena perbedaan persepsi. Sehingga masing-masing merasa paling.” Ujar Walida yang saat ini berprofesi sebagai Dosen Psikologi di IAIN Ponorogo.
Selain pertengkaran yang tak kunjung usai, persoalan perekomonian turut menyumbang besar angka penyebab terjadinya perceraian di Ponorogo. Menurut Walida, setiap calon keluarga dituntut untuk menyadari kondisi dan mengetahui kemampuan masing-masing hingga memutuskan untuk menikah. Tetapi faktanya, kadang mereka tidak tahu harus melakukan apa untuk menjadi keluarga baru. Tidak memiliki bekal untuk babak kehidupan baru mereka.
Yang lebih mengerikannya lagi adalah lebih banyaknya perempuan yang bertindak sebagai pihak penggugat. Menurut Walida, isu gender yang marak digaungkan oleh pemerintah bisa jadi salah satu alasan perempuan memilih membuat keputusan untuk berpisah. Sebab, isu gender dipublikasikan dan dimaknai sebagai isu ekslusifitas. Padahal sejatinya, isu gender atau emansipasi adalah kesetaraan. Bukan menjadikan perempuan lebih dari laki-laki, tapi bagaimana kolaborasi dengan laki-laki, serta memiliki kesempatan dan keterampilan yang sama tanpa melupakan kodratnya.
Saat ini, menurut Walida, banyak orang yang belum bisa membedakan antara kodrat dan peran. Hal tersebut menjadi lucu, ketika perempuan ingin kesetaraan tetapi kemudian ketika berbicara nafkah perempuan akan menuntut kepada laki-laki. Walida meyakini, bahwa rumah tangga yang berpedoman pada mitsaqon gholidzo (janji yang kokoh), dan mu’asyarah bil ma’ruf (melakukan perjanjian dengan ma’ruf dan baik), maka rumah tangga yang dibina tidak akan menemui jalan buntu hingga perceraian.
Menurut Walida, selain kurangnya pemahaman tentang peran dan kodrat, peran teknologi komunikasi saat ini turut berkontribusi menjadi penyebab terjadinya pertikaian yang berujung pada perceraian. Informasi yang bersifat privat dan personal akses, lambat laun menciptakan idealitas perempuan terhadap suatu kriteria yang sering kali tidak sesuai dengan realita. Sehingga mereka tidak bisa memprioritaskan kebutuhan dan keinginan yang berdampak pada permasalahan ekonomi. Disadari atau tidak, teknologi informasi saat ini sangat mempengaruhi perubahan gaya hidup seseorang, khususnya perempuan.
Maka tidak dapat dipungkiri, jika perpisahan meninggalkan berbagai goresan tinta hitam bagi siapa saja yang mengalaminya. Dampak terbesar dan sering kali tidak dipahami oleh para orang tua adalah dampak psikologis terhadap anak akibat perceraian.“Setiap perpisahan pasti memberikan dampak negatif pada anak.” Kata Walida. Untuk itu, latar belakang pernikahan penting untuk dipahami. Apakah hanya agar dinafkahi, atau untuk perjalanan religiusitas sebagai upaya menggenapkan agama, sehingga mereka memahami bahwa mereka adalah bagian dari tanggung jawab.
Melihat tingginya angka perceraian di Ponorogo dari tahun ke tahun membuatnya prihatin. Sebab menurutnya, ini adalah permasalahan yang serius danberkaitan dengan generasi penerus bangsa.Terlebih di Ponorogo tenaga medis yang berkaitan dengan kejiwaan masih sedikit jumlahnya. Untuk itu, Walida berupaya berkontribusi memberikan pembinaan konseling dengan berafiliasi Bersama Keluarga Kita. Sebuah komunitas yang ia dirikan atas keprihatiannya terhadap kasus-kasus perceraian serta dampaknya terhadap anak-anak.
Selain itu Pemerintah Pusat juga telah memiliki program pendidikan keluarga.Dinas Sosial (Dinsos) memiliki program pusat pembelajaran keluarga. Dirjenbimas Islam (Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat memiliki program bimbingan pernikahan dan perkawinan (keluarga sakinah). Kemdikbud (Kementrian Pendidikan dan Budaya) juga memiliki program sahabat keluarga. Bahkan di beberapa daerah di Yogyakarta, di setiap puskesmas memiliki tenaga spikolog untuk konseling pernikahan. “Perbandingannya itu nanti kan tergantung bagaimana pemerintah daerah merespon karena program sudah dicanangkan oleh pemerintah pusat. Tinggal siapa nih yang mempunyai visi yang sama.” Kata Walida.
Untuk meminimalisir kasus perceraian, menurut Walida, masing-masing pihak sebelumnya harus menyadari bekal yang berus dimiliki sebelum menikah. Kemudian mendekatkan diri pada sumber-sumber informasi dan berita positif yang berkaitan dengan pengasuhan anak dan membina hubungan dengan pasangan. Meminta bantuan kepada keluarga untuk menyelesaikan persoalan juga sangat dianjurkan. Hal tersebut sebagai upaya mempelajari nilai luhur pernikahan jaman dulu. “Wong kita ini mau menyelesaikan masalah keluarga kok jadinya ya nggak papa ngobrol dengan bapak, dengan ibu, siapa tahu mereka memiliki sudut pandang lain agar bisa terhindar dari perceraian.” Ujar Walida.
Namun, apabila perceraian terlanjur terjadi, maka anak tetap menjadi fokus perhatian dari kedua orang tua. Segala sesuatu yang berkaitan dengan anak harus dikomunikasikan. “Komunikasi dan hubungan untuk meminimalisir dampak.” Pungkas Walida.
Ironisnya, dari sekian banyak kasus perceraian, prosentase adalah istri lebih besar yang menggungat suaminya. Persoalan ekonomi menjadi penyumbang terbesar terjadinya perceraian di Ponorogo. Selain itu juga disebabkan oleh bebera faktor lain, yaitu perselihan dan pertengkaran, dan meninggalkan salah satu pihak.
Senada dengan Walida, menurut Misnan, kesiapan mental turut mempengaruhi pergolakan bahtera rumah tangga sehingga terjadi pertengkaran. Setiap calon keluarga dituntut untuk memahami bekal yang harus dimiliki ketika sudah menikah. “Yang belum siap mental itu misalnya yang nikah dispensasi atau di bawah umur.” Kata Misnan. Terlebih jika memiliki rencana bekerja di luar negeri, maka diperlukan tim edukasi agar tercipta kesiapan mental bagi yang bekerja maupun yang ditinggal kerja. **
==***==
Penulis:
Fandira Yenhy Riska
Alumnus Mahasiswa KPI IAIN Ponorogo
Post A Comment:
0 comments: